Rabu, 16 Maret 2011


Bandar udara
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/34/SFO_at_night.jpg/300px-SFO_at_night.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Bandara Internasional San Francisco, Amerika Serikat, pada malam hari
Pelabuhan udara, bandar udara atau bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landas pacu namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya.Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (persero) Angkasa Pura adalah "lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat".

Awal mula Pada masa awal penerbangan, bandara hanyalah sebuah tanah lapang berumput yang bisa didarati pesawat dari arah mana saja tergantung arah angin.
Di masa Perang Dunia I, bandara mulai dibangun permanen seiring meningkatnya penggunaan pesawat terbang dan landas pacu mulai terlihat seperti sekarang. Setelah perang, bandara mulai ditambahkan fasilitas komersial untuk melayani penumpang.
Sekarang, bandara bukan hanya tempat untuk naik dan turun pesawat. Dalam perkembangannya, berbagai fasilitas ditambahkan seperti toko-toko, restoran, pusat kebugaran, dan butik-butik merek ternama apalagi di bandara-bandara baru.
Kegunaan bandar udara selain sebagai terminal lalu lintas manusia / penumpang juga sebagai terminal lalu lintas barang. Untuk itu, di sejumlah bandara yg berstatus bandara internasional ditempatkan petugas bea dan cukai. Di indonesia bandara yang berstatus bandara internasional antara lain Polonia (Medan), Soekarno-Hatta (Cengkareng), Djuanda (Surabaya), Sepinggan (Balikpapan), Hasanudin (Makassar) dan masih banyak lagi.
Fasilitas bandara (Fasilitas bandara yang terpenting adalah: Sisi Udara (Air Side)
  • landas pacu yang mutlak diperlukan pesawat. Panjangnya landas pacu biasanya tergantung dari besarnya pesawat yang dilayani. Untuk bandara perintis yang melayani pesawat kecil, landasan cukup dari rumput ataupun tanah diperkeras (stabilisasi). Panjang landasan perintis umumnya 1.200 meter dengan lebar 15 meter, misal melayani Twin Otter, Cessna, dll. pesawat kecil berbaling-baling dua (umumnya cukup 600-800 meter saja). Sedangkan untuk bandara yang agak ramai dipakai konstruksi aspal, dengan panjang 1.800 meter dan lebar 20 meter. Pesawat yang dilayani adalah jenis turbo-prop atau jet kecil seperti Fokker-27, Tetuko 234, Fokker-28, dlsb. Pada bandara yang ramai, umumnya dengan konstruksi beton dengan panjang 3.600 meter dan lebar 30 meter. Pesawat yang dilayani adalah jet sedang seperti Fokker-100, DC-10, B-747, Hercules, dlsb. Bandara international terdapat lebih dari satu landasan untuk antisipasi ramainya lalu lintas.
  • Apron adalah tempat parkir pesawat yang dekat dengan bangunan terminal, sedangkan taxiway menghubungkan apron dan run-way. Konstruksi apron umumnya beton bertulang, karena memikul beban besar yang statis dari pesawat
  • Untuk keamanan dan pengaturan, terdapat Air Traffic Controller, berupa menara khusus pemantau yang dilengkapi radio control dan radar.
  • Karena dalam bandara sering terjadi kecelakaan, maka diseduiakan unit penanggulangan kecelakaan (air rescue service) berupa peleton penolong dan pemadan kebakaran, mobil pemadam kebakaran, tabung pemadam kebakaran, ambulance, dll. peralatan penolong dan pemadam kebakaran
  • Juga ada fuel service untuk mengisi bahan bakar avtur.
Sisi Darat (Land Side)
  • Terminal Bandara atau concourse adalah pusat urusan penumpang yang datang atau pergi. Di dalamnya terdapat counter check-in, (CIQ, Carantine - Inmigration - Custom) untuk bandara internasional, dan ruang tunggu serta berbagai fasilitas untuk kenyamanan penumpang. Di bandara besar, penumpang masuk ke pesawat melalui belalai. Di bandara kecil, penumpang naik ke pesawat melalui tangga yang bisa dipindah-pindah.
  • Curb, adalah tempat penumpang naik-turun dari kendaraan darat ke dalam bangunan terminal
  • Parkir kendaraan, untuk parkir para penumpang dan pengantar/penjemput, termasuk taksi
 Penamaan dan kode
Setiap bandara memiliki kode IATA dan ICAO yang berbeda satu sama lain. Kode bisa diambil dari berbagai hal seperti nama bandara, daerah tempat bandara terletak, atau nama kota yang dilayani. Kode yang diambil dari nama bandara mungkin akan berbeda dengan namanya yang sekarang karena sebelumnya bandara tersebut memiliki nama yang berbeda.

"Bandara adalah sarana maupun prasarana penunjang transportasi udara yg ada di Indonesia ataupun di Dunia. Bandara sendiri merupakan pintu masuk menuju sebuah negara,kota,atau pulau-pulau yang menyediakan layanan jasa bandara,di tiap-tiap negara banyak badan usaha yg menaungi bisnis ini,kalau di Indonesia sendiri badan usaha milik negara yg menaungi bisnis tersebut adalah PT. Angkasa Pura (Persero). PT. Angkasa Pura (Persero) merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara di bawah Departemen Perhubungan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pegusahaan bandar udara di Indonesia.

Perusahaan ini dibagi menjadi dua bagian:
PT.Angkasa Pura I menitik beratkan bandar udara di wilayah timur Indonesia.
PT.Angkasa Pura II menitik beratkan bandar udara di wilayah barat Indonesia.


Medan (SIB)
Ketua Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (BPD PHRI) Sumut Layari S Kaban menilai kebijakan Gubernur Sumut H Syamsul Arifin SE yang dengan berani dan tegas menyatakan dan menetapkan Pulau Samosir sebagai sentra pariwisata masa depan di Sumut, akan menjadi tonggak sejarah betapa Sumut berpeluang besar tampil sebagai model ekonomi kerakyatan di sektor pariwisata, di Indonesia.
“Pernyataan atau komitmen Gubsu yang menetapkan kawasan atau objek wisata Danau Toba, khususnya Pulau Samosir, akan menjadi barometer dan model penerapan ekonomi wisata kerakyatan di Indonesia nantinya, khususnya untuk jangka menengah dan jangka panjang. Ke depannya, Sumut dengan Danau Toba itu tidak hanya menjadi model, tetapi juga bisa menjadi instrumen kontinuitas sektor pariwisata kerakyatan yang memang berbanding lurus dengan pertumbuhan atau kemajuan suatu daerah,” papar Layari S Kaban kepada pers di Medan, Jumat (17/9).
Dia mengutarakan hal itu di lobby Hotel Polonia Medan, setelah bertemu dengan Ketua Umum Panitia Pesta Danau Toba (PDT) 2010, Parlindungan Purba, mantan Ketua PHRI Sumut Ruslan Hasyim dan Bupati Samosir Mangindar Simbolon. Pertemuan singkat itu antara lain menindaklanjuti tingkat kordinasi dengan PHRI Sumut untuk sosialisasi PDT 2010 di kalangan pengusaha hotel dan restoran di Parapat sekitarnya, antara lain agar hotel dan restoran setempat tidak menaikkan tarif kamar maupun harga makanan-minuman selama PDT 2010 berlangsung.
Dengan nada lega dan semangat mereka membincangkan sikap peduli dan keseriusan Gubsu dalam pengembangan potensi dan peningkatan destinasi pariwisata Danau Toba. Secara khusus Layari S Kaban juga menyatakan salut atas pernyataan dan komitmen Gubsu soal penetapan Pulau Samosir sebagai sentra wisata Sumut yang berbasis kerakyatan. Soalnya, bila Pulau Samosir sebagai objek atau destinasi yang relatif terjauh (dari Medan) akan ramai dikunjungi para pelancong untuk menikmati sajian penginapan rakyat (home stay-home stay), maka secara logika objek wisata lintasnya seperti Parapat atau Berastagi (Tanah Karo) juga otomatis akan disinggahi dengan volume yang lebih ramai dari tingkat kunjungan sebelumnya.
Terlebih, ujar Layari yang juga anggota DPRD Sumut itu, penyelenggaraan acara Pesta Danau Toba (PDT) setiap tahunnya, seperti PDT 2010 pada tahun ini, dengan serta merta akan menjadi komponen pendukung promosi dan transaksi ekonomi pariwisata lokal maupun daerah. Selain akan mampu menunjang pertumbuhan ekonomi di kalangan usaha kecil menengah (UKM) seperti para pedagang buah atau souvenir atau jasa angkutan kapal wisata maupun jasa hiburan seni budaya lokal lainnya, juga akan merangsang tingkat ekspansi para investor lokal maupun asing di seputar objek wisata Danau Toba, baik di kawasn Parapat, Samosir, Muara, Tongging, Paropo, dsb.
“Melalui kunjungan wisman maupun wisnu ke PDT 2010 atau pada saat regular di luar PDT, para publik manca negara nantinya akan bisa menjadi penghubung calon investor, bahwa investasi atau ekspansi bisnis di Samosir atau Danau Toba sekarang ini tak perlu modal atau dana besar. Selain karena sinyal Gubsu bahwa di Samosir tak perlu lagi membangun hotel besar atau mewah, tentu hal ini sekaligus peluang investor untuk menabur modal investasinya di sektor murah meriah tapi menguntungkan. Membangun atau mengembangkan home stay milik rakyat, atau ikut memodali salah satu atau beberapa materi acara PDT dari tahun ke tahun, akan menjadi nilai tersendiri bagi rekan atau keluarga investor itu di negerinya sana sehingga minat kunjungan untuk menyaksikan karya anak negerinya di negeri lain, akan menjadi pemicu pertambahan kunjungan wisman ke daerah ini. Dan ini adalah model lanjut dari wisata kerakyatan itu sendiri,” katanya optimis sembari mencontohkan model ekonomi wisata rakyat di beberapa negara lain.
Bagi Layari selaku pengusaha beberapa hotel di Medan dan daerah resor seperti Berastagi, PDT 2010 akan mengandung sejumlah potensi benefit untuk ekonomi daerah Sumut. PDT 2010, katanya, antara lain akan berperan sebagai indikator iklim yang kondusif pada aspek situasi ekonomi Sumut. PDT 2010 juga merupakan parameter pertumbuhan ekonomi lintas bisnis (jasa-produk-niaga dsb) di sektor pariwisata, khususnya untuk regional Indonesia bagian barat, baik dari lintas Asean, Eropa, Cina dsb yang belakangan semakin banyak menyalurkan wisman ke Sumut.
Selain itu, tambah dia, aspek ekonomi juga akan menjadi PDT 2010 sebagai salah satu instrumen pemulihan (recovery) peningkatan kunjungan wisman ke Sumut. Sehingga, momen PDT akan menjadi momen khusus penyerapan wisman dengan jumlah yang lebih berlipat dari masa atau bulan-bulan lainnya.
Menanggapi hal ini, pakar UKM Sumut Dr Sofyan Tan selaku salah satu tokoh pemerhati bisnis pariwisata dan lingkungan melalui lembaganya Kawasan Ekosistem Lestari (KEL) Sumut, tampak senada bahwa PDT setiap tahunnya harus mampu meraih kunjungan wisman lebih banyak dari masa-masa regular atau masa non acara Pesta Danau Toba.
“Kalau selama ini data resmi menunjukkan angka kunjungan Wisman ke Sumut masih tetap di bawah 300.000 orang per tahunnya (khususnya 10-12 tahun terakhir), maka dengan adanya Pesta Danau Toba, plus dengan ditetapkannya salah satu objek di Danau Toba (Pulau Samosir) sebagai sentra pariwisata berbasis kerakyatan akan dominan menjual produk karya rakyat, idealnya angka kunjungan wisman ke Sumut bisa mencapai minimal 500.000 orang per tahunnya. Ini tak mustahil sebenarnya,” ujar Sofyan Tan kepada SIB di kantornya, Sabtu (18/9) sembari menyebutkan beberapa resep dan konsep untuk meningkatkan arus kunjungan wisman ke Sumut, di masa mendatang. (M9/d)
Candi di Padang Lawas Kurang Perawatan
http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/09/21/0426208p.jpg
wacananusantara.orgCandi Biaro Bahal 3
MEDAN, KOMPAS.com--Keberadaan situs-situs bersejarah berupa candi di Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, Sumatera Utara terkesan kurang mendapat perawatan, yang ditandai dengan banyaknya tumbuh ilalang dan berbagai rumput liar di areal situs-situs tersebut.
"Bahkan hewan peliharaan seperti kerbau dengan seenaknya ditambatkan di badan candi yang sudah berwarna hitam, berlumut dan ditumbuhi tumbuhan parasit," kata staf peneliti Pusat Studi Ilmu Sosial dan Sejarah (Pussis) Universitas Negeri Medan, Erond Damanik di Medan, Senin.
Ia mengatakan, di Kabupaten Padang lawas dan Padang Lawas Utara  terdapat sebelas candi yang dalam bahasa setempat disebut juga dengan "biaro" peninggalan abad 11-14 Masehi.Kesebelas candi tersebut yakni Biaro Bahal I, Biaro Bahal II, Biaro Bahal III, Biaro Sitopayan, Biaro Bara, Biaro Pulo, Biaro Sipamutung, Biaro Tandihat I, Biaro Tandihat II, Biaro Sisangkilon dan Biaro Manggis.
     Empat diantaranya, yakni Biaro Bahal I, II, III dan Sipamutung sudah pernah dipugar pada tahun 1991 oleh Gubernur Sumut saat itu, Raja Inal Siregar.
     "Namun sayangnya apresiasi terhadap candi-candi itu dewasa ini semakin berkurang. Belum lagi pada biaro-biaro yang belum dipugar, kondisinya sangat memprihatinkan karena bisa terancam hilang akibat diserobot masyarakat menjadi lahan pertanian," katanya.
     Menurut dia, batubata kontruksi utama beberapa candi sebagian sudah berlepasan dan keropos akibat bebasnya pengunjung menginjak badan candi.
     Misalnya saja pada Biaro Bahal I, ternyata bila diamati secara serius akan didapati kondisinya yang sudah miring.
     Selain itu, yang paling memprihatinkan adalah akses menuju beberapa lokasi candi yang sangat rusak. Kondisi jalan menuju candi Bahal I dan II sudah pernah diaspal tapi kini berlobang sangat parah.
     Sementara akses menuju Bahal III sama sekali terbuat dari batu-batu sungai, belum diaspal, berlubang, berlumpur waktu hujan dan berdebu waktu kemarau.
     Begitu juga akses menuju Biaro Tandihat I dan II sama sekali belum beraspal atau masih jalan tanah.
    "Sangat dibutuhkan apresiasi pemerintah khususnya kabupaten terkait dalam upaya pelestarian aset sejarah itu, terutama dalam menjadikannya sebagai objek destinasi wisata sejarah," katanya.
Peluang usaha
 Pramuwisata atau juga bisa disebut pemandu wisata (guide) sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam bisnis pariwisata. Pasalnya, para turis yang tengah berwisata tak cuma ingin menikmati pemandangan. Mereka juga ingin mengerti sejarah dan perkembangan lokasi yang dikunjunginya.
Tak cuma di Bali atau Yogyakarta, perkembangan bisnis pariwisata di seluruh Indonesia telah mendongkrak kebutuhan akan pemandu wisata yang berpengalaman. Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) I Nyoman Kandia mengatakan, pengguna jasa pramuwisata terutama biro perjalanan dan wisata, berbagai perusahaan, dan sekolah pariwisata.
Kebutuhan yang besar ini pula yang mendorong banyak orang berminat melakoninya, baik resmi maupun tak resmi. Tapi, Kandia, yang sudah menekuni profesi ini sejak tahun 1992 ini, mengeluhkan banyaknya pramuwisata ilegal yang ada di berbagai lokasi wisata.
Dicap ilegal karena para pemandu yang mengantar dan memberi penjelasan kurang valid ke para turis, tentang suatu objek wisata. "Kalau ketemu, biasanya diajak bergabung," ujarnya.
Para pemandu itu diikutkan tes bahasa secara gratis. Misalnya, menurut Ketua HPI DKI Jakarta Erwan Maulana, saat ini di Jakarta masih kekurangan pemandu yang mampu berbahasa Korea dan Rusia. Dengan mengikuti sejumlah tes itu, pramuwisata tidak berlisensi ini diharapkan bakal memiliki nilai jual lebih tinggi. Karena memiliki kompetensi dan bisa memberikan informasi yang benar ke para turis.
Adapun untuk menjadi pramuwisata profesional, seseorang memerlukan kualifikasi tertentu dan mengantongi lisensi resmi. Seperti, mengikuti kursus pramuwisata 121 jam yang diselenggarakan Dinas Pariwisata di masing-masing provinsi.
Syarat lainnya adalah menguasai setidaknya satu bahasa asing dan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. "Untuk Provinsi Bali, pramuwisata setidaknya bergelar D3," kata Kandia.
Tak cuma fasih bahasa asing, pramuwisata juga dituntut mengetahui berbagai sejarah objek wisata di tempatnya bekerja. Dia juga harus bisa bekerja sama dengan pelaku industri pariwisata hingga masalah pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) serta asuransi. Total, ada 13 kemampuan yang harus dikuasai pramuwisata.
Lisensi pramuwisata bertingkat. Pramuwisata Muda memiliki lisensi hijau dengan lingkup kerja di tingkat kota atau kabupaten. Di atasnya ada Pramuwisata Madya dengan lisensi kuning sampai tingkat provinsi.
Selanjutnya, Tour Leader dengan warna lisensi merah putih. Tingkatan ini bisa membuat program perjalanan, memimpin rombongan, membawa rombongan antarprovinsi hingga antarnegara. "Ada juga lisensi putih untuk pramuwisata minat khusus, seperti menyelam, museum, naik sepeda, wedding," imbuh Kandia.Penghasilan mereka tergantung lokasi. Di Bali, tur grup sehari penuh bisa mendapat Rp 300.000 untuk 10 jam atau Rp 200.000 untuk 2 hingga 10 orang. Untuk konferensi, penghasilannya mencapai Rp 300.000 hingga Rp 500.000 sehari.
Ada juga penghasilan lain, seperti komisi 10% hingga 20% dari agen perjalanan, toko seni dan toko makanan. "Idealnya, seorang pramuwisata menghasilkan Rp 120 juta sebulan," kata Kandia

ARTI PARIWISATA

Kata "Pariwisata" sesungguhnya baru populer di Indonesia setelah diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourisme ke II di Tretes, Jawa Timur (12 s/d 14 Juni 1458).

PARI berarti banyak, berkali-kali,berputar-putar, lengkap.
WISATA berarti perjalanan, bepergian.

PARIWISATA bisa diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ketempat lain yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata "tour", sedang untuk pengertian jamak "kepariwisataan" dapat digunakan kata "tourisme" atau "tourism", lebih lanjut batasan pariwisata menurut ketetapan MPRS No I-II tahun 1960, sebagai berikut :
"Kepariwisataan dalam dunia modern pada hakekatnya adalah suatu cara memenuhi kebutuhan manusia dalam memberi hiburan rohani dan jasmani setelah beberapa waktu bekerja serta mempunyai modal untuk melihat-lihat daerah lain (pariwisata dalam negeri) atau negara-negara lain (pariwisata luar negeri)".

Untuk perbandingan lebih lanjut, batasan pariwisata diberikan oleh beberapa orang ahli, diantaranya :
Seorang ahli ekonomi bangsa Austria tahun 1910 yaitu Hermann V. Schulalard, sebagai berikut :
"Tourism is The sum of operations, mainly of an economic nature, which directly related to the entry, stay and mavemant of foreigner inside certain cauntry, city or region".

E. Guyer Freuler, merumuskan pengertian pariwisata dengan memberi batasan sebagai berikut :
"Pariwisata dalam pengertian modern adalah merupakan penomena dari jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesahatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasil dari pada perkembangan perniagaan, industri, perdagangan serta penyempurnaan dari pada alat-alat pengangkutan".

Prof. K. Kraft (1942) mengemukakan batasan yang lebih bersifat tekhnis sebagai berikut : "Tourism is the totally of the relation shif and phenomena arising from the travel and stay of strangers (ortsfremde), provide the stay does not imply the esta blishment of a permanent resident".
maksudanya kepariwisataan adalah keseluruhan dari pada gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktifitas yang bersifat sementara itu.

Seorang wisatawan atau turis adalah seseorang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi oleh Organisasi Pariwisata Dunia. Definisi yang lebih lengkap, turisme adalah Industri jasa. Mereka menangani jasa mulai dari Transportasi, Jasa keramahan, Tempat tinggal, Makanan-minuman, dan jasa bersangkutan lainnya seperti Bank, Asuransi, Keamanan, dll. Dan juga menawarkan tempat istrihat, budaya, pelarian, petualangan, dan pengalaman baru dan berbeda lainnya. Banyak negara, bergantung banyak dari industri pariwisata ini sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh karena itu pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang dipakai oleh Organisasi Non-Pemerintah untuk mempromosikan wilayah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang dan jasa kepada orang non-loka

PARIWISATA : Manfaat dan Dampaknya bagi budaya Aceh

Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan Indonesia khususnya sebagai penghasil devisa negara di samping sektor migas.
Sebagai sumber devisa, pariwisata menyimpan potensi yang sangat besar. Menurut beberapa ahli pariwisata dewasa ini sudah menjadi bidang usaha atau industri terbesar ketiga setelah minyak dan perdagangan senjata. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan bidang usaha terbesar kedua setelah minyak.
Apabila kita melihat trend pariwisata tahun 2020, perjalanan wisata dunia akan mencapai 1,6 milyar orang, di antaranya 438 juta orang akan berkunjung ke kawasan Asia-Pasifik dan 100 juta orang ke Cina. Melihat jumlah yang demikian besar, Indonesia yang juga memiliki potensi pariwisata perlu merebut pangsa pasar wisata tersebut.
Selain negara/pemerintah, keuntungan ekonomis dari pembangunan pariwisata di negara atau daerah tujuan wisata juga sangat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai ilustrasi, sebuah hotel sangat memerlukan berbagai macam bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan makanan para tamu. Untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan, seperti daging, sayuran, dan buah-buahan ini biasanya hotel membeli dari masyarakat sekitar dengan memperhatikan kualitas barang. Dengan semakin banyaknya kebutuhan akan bahan makanan, maka hal ini memberi peluang dan mendorong para petani dan peternak yang berada di sekitar hotel untuk meningkatkan produksi tanpa menghilangkan kualitas hasil pertanian.
Riuhnya kegiatan pariwisata di Indonesia ternyata tidak sampai ke daerah di ujung pulau Sumatera yakni Nanggroe Aceh Darussalam. Nampaknya kebijakan pemerintah di bidang pariwisata masih belum bergeming dengan hingar bingarnya masalah rencana destinasi pariwisata di Indonesia. Pada tahun 2008 telah 10 destinasi unggulan yang menjadi tujuan Visit Indonesia Year dan pada tahun 2009 telah direncanakan 15 destinasi, tetapi Aceh belum masuk di dalamnya. Padahal daerah paling ujung pulau Sumatera ini menyimpan banyak potensi dalam berbagai aspek.
Hubungan Pariwisata dengan Kebudayaan
Pariwisata merupakan suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek, seperti: ekonomi, teknologi, politik, keagamaan, kebudayaan, ekologi, dan pertahanan dan keamanan. Melalui pariwisata berkembang keterbukaan dan komunikasi secara lintas budaya, melalui pariwisata juga berkembang komunikasi yang makin meluas antara komponen-komponen lain dalam kerangka hubungan yang bersifat saling mempengaruhi (Geriya, 1996:38).
Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Hal ini disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu daerah sangat terkait dengan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut, misalnya Nanggroe Aceh Darussalam dengan bermodalkan kekayaan kebudayaan yang dilatari oleh keunikan berbagai kebudayaan daerah yang ada di wilayahnya, Nanggroe Aceh Darussalam bisa menggunakan kebudayaan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Pengembangan kepariwisataan yang bertumpu pada kebudayaan lebih lanjut diistilahkan dengan pariwisata budaya. Dengan kata lain, pariwisata budaya adalah satu jenis kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan (Geriya, 1996: 45). Segala aspek yang berhubungan dengan pariwisata, seperti: promosi, atraksi, manajemen, makanan, cindera mata, hendaknya selalu mendayagunakan potensi-potensi kebudayaan yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian nantinya pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan dari pariwisata daerah lain yang bertumpu pada potensi yang lain.
POTENSI BUDAYA
Pariwisata adalah suatu gejala yang komplek, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiki berbagai aspek. Dari berbagai aspek yang ada, aspek yang mendapat perhatian yang paling besar adalah aspek ekonomisnya hal ini bisa dilihat dari pembahasan di atas. Dengan melihat aspek ekonomisnya, maka berkembanglah suatu konsep yaitu industri pariwisata yang merupakan suatu kegiatan pariwisata seutuhnya. Sebagai industri, pariwisata mengeluarkan produk yang akan dibeli oleh pembelinya, yakni wisatawan. Ada bermacam produk yang ditawarkan oleh industri pariwisata yang dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang, salah satunya adalah bidang atraksi.
Bidang atraksi merupakan salah satu motif wisatawan memilih untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata tertentu. Jadi seorang wisatawan akan berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata untuk melihat atraksi wisata yang ada di daerah atau negara tersebut. Dengan demikian jika suatu daerah mempunyai niat untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya haruslah memperhatikan ketersediaan atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Atraksi wisata dalam hal ini dapat berupa panorama alam, keanekaragaman Budaya, peninggalan sejarah, kehidupan masyarakat dan sebagainya.
Kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam banyak yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Siapa yang tidak mengenal tari Saman yang indah tersebut, siapa pula yang tidak mengenal rapa’I yang menghentak-hentak dengan harmonisasi yang cukup tinggi. Di bidang kuliner, orang mulai memburu dan membicarakan Mie Aceh, Kopi Aceh, Kare Kambing yang menurut mereka kaya akan bumbu dan memiliki sensasi tersendiri. Semua itu merupakan modal bagi pengembangan industri pariwisata di Aceh.
Selain kebudayaan yang telah dikenal luas oleh masyarakat luar, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam juga memiliki kebudayaan yang sangat menarik untuk dijadikan atraksi budaya dalam kegiatan pariwisata, seperti; Geudeue-geudeue, Peupok Leumo, Pacu Kude, gaseng, dan lain-lain.
Dampak Pariwisata Terhadap kebudayaan
Pariwisata sebagai suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek tersebut, termasuk kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata. Dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan. (Geriya, 1996: 49).
Paparan di atas menandakan perkembangan pariwisata dapat memberikan dampak yang positif terhadap kebudayaan. Di sini akan terjadi akulturasi kebudayaan, karena adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan. Di samping itu, kebudayaan-kebudayaan daerah akan terus berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan (orang asing) yang datang berkunjung untuk melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut. Hal ini tentunya juga menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan dilestarikan. Dengan demikian pola kebudayaan tradisional seperti tempat-tempat bersejarah, monumen-monumen, kesenian, dan adat istiadat akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable).
Sedangkan dampak negatifnya dari pariwisata tersebut akan menyebabkan; (1) terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah; (2) timbulnya komersialisasi; (3) berkembangnya pola hidup konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6) pencemaran budaya; dan (7) terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).
Dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain; munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikawatirkan terdapat budaya masyarakat lokal antara lain; proses komodifikasi, peniruan, dan profanisasi (Shaw and Williams, dalam Ardika 2003:25.
Subadra (2006) memberikan batasan yang lebih jelas mengenai dampak sosial-budaya pariwisata. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal seperti kegiatan keagamaan, adat istiadat, dan tradisi, dan diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal. Sedangkan dampak negatif sosial budaya pengembangan pariwisata dilihat dari respon masyarakat lokal terhadap keberadaan pariwisata seperti adanya perselisihan atau konflik kepentingan di antara para stakeholders, kebencian dan penolakan terhadap pengembangan pariwisata, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti praktek perjudian, prostitusi dan penyalahgunaan seks (sexual abuse).
Apabila melihat dampak negatif dari pariwisata sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka wajar bila sebagian masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam agak keberatan terhadap pengembangan pariwisata. Sebagai muslim yang taat dalam menjalankan syariat Islam, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam akan selalu menjaga daerahnya dari kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan beberapa kelompok masyarakat, kegiatan pariwisata kebanyakan bertentangan dengan syariat Islam.Walaupun tidak seluruhnya benar, namun pandangan tersebut pada akhirnya membawa dampak bagi pengembangan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam.
Adanya sikap sebagian masyarakat yang menganggap pengembangan pariwisata bertentangan dengan syariat Islam pada dasarnya menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua terutama para pengambil kebijakan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk mengantisipasinya perlu adanya perubahan strategi dalam pengembangan pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satunya adalah menempatkan masyarakat bukan sebagai objek wisata yang selama ini terjadi, tetapi menempatkan masyarakat sebagai subjek pariwisata.
Dengan demikian masyarakat dalam menjalankan kegiatan pariwisata, tidak hanya berkewajiban melayani wisatawan- sebagaimana yang selama ini didengungkan oleh slogan sapta pesona, bahwa masyarakat harus menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan—melainkan juga mempunyai kekuatan untuk keputusan mengenai hal-hal apa yang menjadi bagian budayanya yang dapat dikonsumsi turis.
Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif menjadi kontrol aktivitas pariwisata yang terjadi, termasuk menciptakan program-program paket wisata beserta sarana pendukungnya.
Penutup
Berbicara pariwisata dan budaya di Indonesia, maka pikiran kita akan tertuju pada Bali sebagai contoh sebuah daerah yang berhasil mengabungkan antara pariwisata dengan budaya. Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki keanekaragaman budaya pada dasarnya tidak kalah dengan Bali bahkan dapat dikatakan lebih karena memiliki keanekaragaman budaya yang lebih banyak dari beberapa suku bangsa yang menempati wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dibandingkan Bali yang hanya terdiri dari budaya Bali. Perbedaannya hanyalah pada keikutsertaan masyarakat Bali sebagai penentu dan pelaksana kegiatan pariwisata sehingga masyarakat dapat mengontrol dan menikmati manfaat pariwisata secara langsung, bukan sebagai penonton. Sedangkan sampai saat ini masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam masih sebagai penonton dikejauhan dalam kegiatan pariwisata. Maka tidak mengherankan adanya anggapan bahwa pariwisata tidak berguna bagi masyarakat.

C. Jenis-jenis Pariwisata
Menurut Pendit (1994), pariwisata dapat dibedakan menurut motif wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat. Jenis-jenis pariwisata tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Wisata Budaya
Yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ketempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Seiring perjalanan serupa ini disatukan dengan kesempatan–kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan–kegiatan budaya, seperti eksposisi seni (seni tari, seni drama, seni musik, dan seni suara), atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya.
  1. Wisata Maritim atau Bahari : Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan olah raga di air, lebih–lebih di danau, pantai, teluk, atau laut seperti memancing, berlayar, menyelam sambil melakukan pemotretan, kompetisi berselancar, balapan mendayung, melihat–lihat taman laut dengan pemandangan indah di bawah permukaan air serta berbagai rekreasi perairan yang banyak dilakukan didaerah–daerah atau negara–negara maritim, di Laut Karibia, Hawaii, Tahiti, Fiji dan sebagainya. Di Indonesia banyak tempat dan daerah yang memiliki potensi wisata maritim ini, seperti misalnya Pulau–pulau Seribu di Teluk Jakarta, Danau Toba, pantai Pulau Bali dan pulau–pulau kecil disekitarnya, taman laut di Kepulauan Maluku dan sebagainya. Jenis ini disebut pula wisata tirta.
  1. Wisata Cagar Alam (Taman Konservasi)
Untuk jenis wisata ini biasanya banyak diselenggarakan oleh agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha–usaha dengan jalan mengatur wisata ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang–undang. Wisata cagar alam ini banyak dilakukan oleh para penggemar dan pecinta alam dalam kaitannya dengan kegemaran memotret binatang atau marga satwa serta pepohonan kembang beraneka warna yang memang mendapat perlindungan dari pemerintah dan masyarakat. Wisata ini banyak dikaitkan dengan kegemaran akan keindahan alam, kesegaran hawa udara di pegunungan, keajaiban hidup binatang dan marga satwa yang langka serta tumbuh–tumbuhan yang jarang terdapat di tempat–tempat lain. Di Bali wisata Cagar Alam yang telah berkembang seperti Taman Nasional Bali Barat dan Kebun Raya Eka Karya
  1. Wisata Konvensi :      Yang dekat dengan wisata jenis politik adalah apa yang dinamakan wisata konvensi. Berbagai negara pada dewasa ini membangun wisata konvensi ini dengan menyediakan fasilitas bangunan dengan ruangan–ruangan tempat bersidang bagi para peserta suatu konfrensi, musyawarah, konvensi atau pertemuan lainnya baik yang bersifat nasional maupun internasional. Jerman Barat misalnya memiliki Pusat Kongres Internasiona (International Convention Center) di Berlin, Philipina mempunyai PICC (Philippine  International Convention Center) di Manila dan Indonesia mempunyai Balai Sidang Senayan di Jakarta untuk tempat penyelenggaraan sidang–sidang pertemuan besar dengan perlengkapan modern. Biro konvensi, baik yang ada di Berlin, Manila, atau Jakarta berusaha dengan keras untuk menarik organisasi atau badan–badan nasional maupun internasional untuk mengadakan persidangan mereka di pusat konvensi ini dengan menyediakan fasilitas akomodasi dan sarana pengangkutan dengan harga reduksi yang menarik serta menyajikan program–program atraksi yang menggiurkan.
  1. Wisata Pertanian (Agrowisata)
Sebagai halnya wisata industri, wisata pertanian ini adalah pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek–proyek pertanian, perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya dimana wisatawan rombongan dapat mengadakan kunjungan dan peninjauan untuk tujuan studi maupun melihat–lihat keliling sambil menikmati segarnya tanaman beraneka warna dan suburnya pembibitan berbagai jenis sayur–mayur dan palawija di sekitar perkebunan yang dikunjungi.
  1. Wisata Buru : Jenis ini banyak dilakukan di negeri–negeri yang memang memiliki daerah atau hutan tempat berburu yang dibenarkan oleh pemerintah dan digalakan oleh berbagai agen atau biro perjalanan. Wisata buru ini diatur dalam bentuk safari buru ke daerah atau hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan, seperti berbagai negeri di Afrika untuk berburu gajah, singa, ziraf, dan sebagainya.             Di India, ada daerah–daerah yang memang disediakan untuk berburu macan, badak dan sebagainya, sedangkan di Indonesia, pemerintah membuka wisata buru untuk daerah Baluran di Jawa Timur dimana wisatawan boleh menembak banteng atau babi hutan.
  1. Wisata Ziarah : Jenis wisata ini sedikit banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata ziarah banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongan ke tempat–tempat suci, ke makam–makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan, ke bukit atau gunung yang dianggap keramat, tempat pemakaman tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib penuh legenda. Wisata ziarah ini banyak dihubungkan dengan niat atau hasrat sang wisatawan untuk memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula untuk tujuan memperoleh berkah dan kekayaan melimpah. Dalam hubungan ini, orang–orang Khatolik misalnya melakukan wisata ziarah ini ke Istana Vatikan di Roma, orang–orang Islam ke tanah suci, orang–orang Budha ke tempat–tempat suci agama Budha di India, Nepal, Tibet dan sebagainya
  2. . Di Indonesia banyak tempat–tempat suci atau keramat yang dikunjungi oleh umat–umat beragama tertentu, misalnya seperti Candi Borobudur, Prambanan, Pura Basakih di Bali, Sendangsono di Jawa Tengah, makam Wali Songo, Gunung Kawi, makam Bung Karno di Blitar dan sebagainya. Banyak agen atau biro perjalanan menawarkan wisata ziarah ini pada waktu–waktu tertentu dengan fasilitas akomodasi dan sarana angkuatan yang diberi reduksi menarik ke tempat–tempat tersebut di atas.
Sesungguhnya daftar jenis–jenis wisata lain dapat saja ditambahkan di sini, tergantung kapada kondisi dan situasi perkembangan dunia kepariwisataan di suatu daerah atau negeri yang memang mendambakan industri pariwisatanya dapat meju berkembang. Pada hakekatnya semua ini tergantung kepada selera atau daya kreativitas para ahli profesional yang berkecimpung dalam bisnis industri pariwisata ini. Makin kreatif dan banyak gagasan–gagasan yang dimiliki oleh mereka yang mendedikasikan hidup mereka bagi perkembangan dunia kepariwisataan di dunia ini, makin bertambah pula bentuk dan jenis wisata yang dapat diciptakan bagi kemajuan industri ini, karena industri pariwisata pada hakikatnya kalau ditangani dengan kesungguhan hati mempunyai prospektif dan kemungkinan sangat luas, seluas cakrawala pemikiran manusia yang melahirkan gagasan–gagasan baru dari waktu–kewaktu. Termasuk gagasan–gagasan untuk menciptakan bentuk dan jenis wisata baru tentunya.

D. Tipologi Wisatawan
Menurut Plog (1972) dan Pitana (2005), menjelaskan konsep sosiologi tentang wisatawan menjadi sangat penting, kemudian Plog mengelompokkan tipologi wisatawan sebagai berikut:
  1. Allocentris, yaitu wisatawan hanya ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum diketahui, bersifat petualangan, dan mau memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat local.
  2. Psycocentris, yaitu wisatawan yang hanya ingin mengunjungi daerah tujuan wisata sudah mempunyai fasilitas dengan standar yang sama dengan di negaranya.
  3. Mid-Centris, yaitu terletak diantara tipologi Allocentris dan Psycocentris
Menurut Pitana (2005), tipologi wisatawan perlu diketahui untuk tujuan perencanaan, termasuk dalam pengembangan kepariwisataan, tipologi yang lebih sesuai adalah tipologi berdasarkan atas kebutuhan riil wisatawan sehingga pengelola dalam melakukan pengembangan objek wisata sesuai dengan segmentasi wisatawan. Pada umumnya kelompok wisatawan yang datang ke Indonesia terdiri dari kelompok wisatawan psikosentris (Psycocentris). Kelompok ini sangat peka pada keadaan yang dipandang tidak aman dan sangsi akan keselamatan dirinya, sehingga wisatawan tersebut enggan datang atau membatalkan kunjungannya yang sudah dijadualkan (Darsoprayitno, 2001)
Berdasarkan hal inilah, teori di atas ditulis kembali dengan harapan untuk mengingatkan kembali bahwa wisatawan yang datang ke Indoensia dari kelompok Psycocentris sehingga siapapun yang menjadi pengelola objek wisata di Indonesia dapat memperhatikan karakteristik di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar