Rabu, 16 Maret 2011

MULTIKULTURALISME


Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?
Jenis Multikulturalisme
  1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
  2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
  3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
  4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
  5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Multikulturalisme di medan sumatera utara
Masyarakat Indonesia khusunya masyarakat medan sumut merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.


Top of Form

Pengikat sebuah Multikulturalisme dan Kesederajatan di Sumut
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.

Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dankebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.

Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.

Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.




PARIWISATA DAN MULTIKULTURAL (KEBUDAYAAN)

Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan pariwisata mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan Indonesia khususnya sebagai penghasil devisa negara di samping sektor migas.
Tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia terlihat dengan jelas dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1969, khususnya Bab II Pasal 3, yang menyebutkan “Usaha-usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan “industri pariwisata” dan merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunan serta kesejahtraan masyarakat dan Negara” (Yoeti, 1996: 151).
Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut, dikatakan bahwa tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia adalah:
(1)Meningkatkan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja, dan mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya.
(2)Memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan Indonesia.
(3)Meningkatkan persaudaraan/persahabatan nasional dan internasional.
Dalam tujuan di atas, jelas terlihat bahwa industri pariwisata dikembangkan di Indonesia dalam rangka mendatangkan dan meningkatkan devisa negara (state revenue). Dengan kata lain, segala usaha yang berhubungan dengan kepariwisataan merupakan usaha yang bersifat komersial dengan tujuan utama mendatangkan devisa negara.
Di samping itu, pengembangan kepariwisataan juga bertujuan untuk memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan Indonesia. Ini berarti, pengembangan pariwisata di Indonesia tidak telepas dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk mendukung pariwisata tersebut. Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat menarik. Keragaman budaya ini dilatari oleh adanya agama, adat istiadat yang unik, dan kesenian yang dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia. Di samping itu, alamnya yang indah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik itu alam pegunungan (pedesaan), alam bawah laut, maupun pantai.
Kebudayaan Indonesia agar bisa dinikmati sebagai daya tarik bagi wisatawan memerlukan sarana pengungkap. Artinya, agar orang lain memahami kebudayaan Indonesia diperlukan suatu alat pengungkap yang mampu mendeskripsikan kebudayaan itu secara utuh. Alat pengungkap kebudayaan itu tiada lain bahasa, yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia.
Kebudayaan dalam arti luas sebagai hasil cipta karsa dan karya manusia tentu akan terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia juga membawa implikasi terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia termasuk perkembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkap kebudayaan Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, dalam tulisan ini akan dikaji hubungan antara pariwisata, kebudayaan, dan bahasa serta permasalahannya. Untuk melengkapi pembahasnnya tersebut digunakan Bali sebagai contoh kasus.
 PARIWISATA dan BUDAYA
Sebelum membahas pokok permasalahan yang dituangkan dalam pendahuluan di atas, terlebih dahulu akan disajikan beberapa konsep terkait dengan judul di atas yang bertujuan untuk untuk memberikan gambaran tentang variabel-variabel judul di atas, sehingga pada akhirnya diketahui hubungan antara satu variabel dan variabel yang lainnya. Dengan demikiann nantinya akan ditemukan jawaban yang komprehensif untuk menjawab permasalahan di atas.
 Kebudayaan
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem komunikasi yang mengikat dan memungkinkan bekerjanya suatu himpunan manusia yang disebut masyarakat. Dengan demikian dapat didefinisikan kebudayaan sebagai “sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan”. Kebudayaan itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia. (Nababan, 1984: 49)
Berdasarkan definisi di atas, jelas sekali terlihat bahwa antara manusia dan kebudayaannya tidak dapat dipisahkan. Demikian juga antara manusia Indonesia dan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan manusia Indonesia di samping hidup dalam satu kesatuan wilayah masyarakat etnik, juga hidup dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, mereka menjunjung kebudayaan yang satu, sesuai dengan konsepsi wawasan nusantara, yaitu kebudayaan nasional Indonesia (Geriya, 1996: 71).
Lebih lanjut dijelaskan secara formal normatif sistem budaya Indonesia menata keseluruhan manusia dan masyarakat Indonesia. Ada dua fungsi sistem budaya Indonesia yang amat penting, yaitu: sebagai pemberi identitas dan sebagai komunikasi yang menyatukan dan mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti: kepercayaan, kesenian, dan sebagainya” Misalnya, Kebudayaan Cina, Kebudayaan Indonesia, dan Kebudayaan Jawa. (Poerwadarminta, 1983: 157). Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan hanyalah manusia yang mempunyai kebudayaan. Hal ini disebabkan manusialah makhluk hidup yang mempunyai akal dan budi untuk mengasilkan kebudayaan.
Di samping dua pengertian di atas, pengertian kebudayaan juga dapat dipandang dari sudut Ilmu Antropologi. Dalam hal ini, kebudayaan (budaya) diartikan sebagai “keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan cara belajar dan kesemuanya tersusun dalam kehidupan bermasyarakat”. (Koentjaraninggrat Ed., 1985: 77).
Budaya dalam hal ini dipahami sebagai tingkah laku yang dipelajari dan dilakukan oleh sekelompok orang, budaya diperoleh dari orang lain dengan dipelajari dari masyarakatnya. Kebudayaan itu juga mencakup segala hal yang merupakan hasil cipta, karsa, dan karya manusia dalam usaha meningkatkan taraf hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan perlu dilihat dari perwujudan kehidupan manusia yang terkait dengan ide, perilaku, dan materi yang dipengaruhi oleh berbagai aspek.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan yang dimaksudkan dengan kebudayaan adalah suatu hasil cipta karsa, dan karya manusia dalam usaha meningkatkan taraf hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Batasan ini lebih ditekankan pada kenyataan bahwa manusialah yang mampu menghasilkan kebudayaan, karena manusia merupakan makhluk hidup yang mempunyai akal dan budi.

 HUBUNGAN DAN PERMASALAHAN ANTARA PARIWISATA dan  MULTIKULTURAL TERKHUSUS di MEDAN SUMUT
Perkembangan pariwisata di Indonesia akan berimplikasi terhadap perkembangan kebudayaan nasional Indonesia yang didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah. Fenomena ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia dan juga sekaligus sebagai sarana pengungkapnya.
 Hubungan Pariwisata dan Kebudayaan
Pariwisata merupakan suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek, seperti: ekonomi, teknologi, politik, keagamaan, kebudayaan, ekologi, dan pertahanan dan keamanan. Melalui pariwisata berkembang keterbukaan dan komunikasi secara lintas budaya, melalui pariwisata juga berkembang komunikasi yang makin meluas antara komponen-komponen lain dalam kerangka hubungan yang bersifat saling mempengaruhi (Geriya, 1996:38)
Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Hal ini disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu negara atau suatu daerah sangat terkait dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah atau suatu negara. Indonesia, misalnya dengan bermodalkan kekayaan kebudayaan nasional yang dilatari oleh keunikan berbagai kebudayaan daerah bisa menggunakan kebudayaan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Pengembangan kepariwisataan yang bertumpu pada kebudayaan lebih lanjut diistilahkan dengan pariwisata budaya. Dengan kata lain, pariwisata budaya adalah satu jenis kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan (Geriya, 1996: 45). Kebudayaan yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan Indonesia yang dibangun dari berbagai kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Ini artinya, setiap langkah yang dilakukan dalam usaha pengembangan pariwisata di Indonesia selalu bertumpu pada kebudayaan nasional Indonesia. Segala aspek yang berhubungan dengan pariwisata, seperti: promosi, atraksi, manajemen, makanan, cindera mata, hendaknya selalu mendayagunakan potensi-potensi kebudayaan nasional Indonesia. Dengan demikian nantinya pariwisata Indonesia mempunyai ciri tersendiri yang dapat dibedakan dari pariwisata negara lain yang bertumpu pada potensi yang lain.
Uraian di atas menunjukkan betapa eratnya hubungan antara pariwisata dan kebudayaan nasional Indonesia. Pariwisata Indonesia dikembangkan berdasarkan potensi kebudayaan nasional yang ada dan kebudayaan nasional akan berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata. Di samping itu, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan konsep pariwisata budaya akan dapat memperkokoh kebudayaan nasional Indonesia.
 Hubungan Kebudayaan dan Bahasa
Kebudayaan dan bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebudayaan dan bahasa dalam hal ini dibatasi pada kebudayaan nasional Indonesia dan bahasa Indonesia. Hubungan di antara keduanya tidak hanya sebatas bahasa Indonesia adalah bagian dari kebudayaan nasional Indonesia, tetapi juga terlihat dari fungsi bahasa sebagai pengungkap, pelestari, dan pewaris budaya bangsa Indonesia.
Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah bagian dari sistem kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, karena kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa adanya bahasa. Bahasa inilah memungkinkan terbentuknya suatu kebudayaan. Inilah salah satu hubungan antara kebudayaan dan bahasa.
Hubungan kebudayaan dan bahasa yang lainnya adalah bahwa bahasa sebagai suatu sistem komunikasi, akan mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Ini artinya untuk bisa mengerti suatu bahasa, setidaknya juga harus paham dengan kebudayaannya. Demikian sebaliknya, untuk memahami kebudayaan suatu daerah atau suatu negara akan lebih sempurna apabila juga memahami bahasanya.
Hubungan antara kebudayaan dan bahasa juga dapat dilihat pada sisi yang lain, yaitu bahasa merupakan kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan. Oleh karena itu, dalam mempelajari suatu kebudayaan diperlukan juga mempelajari bahasanya.
Menurut Nababan (1984: 52) ada dua macam hubungan antara kebudayaan dan bahasa. Kedua hubungan itu adalah (1) bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan (2) bahwa seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya. Hubungan yang pertama disebut dengan hubungan filogenetik, sedangkan hubungan kedua disebut dengan hubungan ontogenetik. Kedua hubungan antara bahasa dan kebudayaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Filogenetik
(Sistemik)
Ontogenetik
(Belajar)
Dari uraian di atas bahasa secara umum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kebudayaan. Hal ini juga terjadi antara bahasa Indonesia dan kebudayaan nasional. Artinya, untuk mengetahui kebudayaan nasional dapat dipelajari dari bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai wahana pengungkapnya. Demikian juga sebaliknya mempelajari bahasa Indonesia secara tidak langsung juga mengetahui kebudayaan Indonesia sebagai wadahnya.
 Pengaruh Pariwisata terhadap Kebudayaan
Pariwisata sebagai suatu fenomena yang terdiri dari berbagai aspek tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek tersebut, termasuk kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata. Apalagi pengembangan pariwisata di Indonesia bertumpu pada kebudayaan nasional Indonesia, tentu perkembangan pariwisata akan berdampak bagi kebudayaan nasional Indonesia.
Dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan. (Geriya, 1996: 49).
Paparan di atas menandakan perkembangan pariwisata dapat memberikan dampak yang positif terhadap kebudayaan. Di sini akan terjadi akulturasi kebudayaan, karena adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan. Di samping itu, kebudayaan-kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia akan terus berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan (orang asing) yang datang berkunjung untuk melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut. Hal ini tentunya juga menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan dilestarikan. Dengan demikian pola kebudayaan tradisional seperti tempat-tempat bersejarah, monumen-monumen, kesenian, dan adat istiadat akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable).
Dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan seperti disebutkan di atas sejalan dengan pemikiran Sihite (2000: 76) yang menyebutkan secara garis besar dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan dapat dilihat pada hal-hal berikut:
□ Merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan monumen-monumen budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan wisatawan.
□ Merupakan dorongan dalam usaha melestarikan dan menghidupkan kembali beberapa pola budaya tradisional seperti kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara-upacara adat, dan pakaian.
□Memberingan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang bersih dan menarik.
□Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat lokal. Misalnya, wisatawan dapat lebih banyak mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan penduduk lokal juga mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan.
□Mendorong pendidikan di bidang kepariwisataan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia di bidang kepariwisataan yang handal.
Perkembangan pariwisata yang sangat pesat dan terkosentrasi dapat menimbulkan berbagai dampak. Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan pariwisata meliputi; (1) memperluas lapangan kerja; (2) bertambahnya kesempatan berusaha; (3) meningkatkan pendapatan; (4) terpeliharanya kebudayaan setempat; (5) dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan. Sedangkan dampak negatifnya dari pariwisata tersebut akan menyebabkan; (1) terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah; (2) timbulnya komersialisasi; (3) berkembangnya pola hidup konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6) pencernaan budaya; dan (7) terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).
Dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain; munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikawatirkan terdapat budaya masyarakat lokal antara lain; proses komodifikasi, peniruan, dan profanisasi (Shaw and Williams, dalam Ardika 2003:25). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dampak pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal sebagaimana tersebut di atas disebabkan oleh tiga hal yakni: (1) masyarakat lokal ingin memberikan hasil karya seni atau kerajinan yang bermutu tinggi kepada pembeli (wisatawan); (2) untuk menjaga citra dan menunjukkan identitas budaya masyarakat lokal kepada dunia luar; (3) masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi (Graburn 2000 dalam Ardika 2003).
Subadra (2006) memberikan batasan yang lebih jelas mengenai dampak sosial-budaya pariwisata. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal seperti kegiatan keagamaan, adat istiadat, dan tradisi, dan diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal. Sedangkan dampak negatif sosial budaya pengembangan pariwisata dilihat dari respon masyarakat lokal terhadap keberadaan pariwisata seperti adanya perselisihan atau konflik kepentingan di antara para stakeholders, kebencian dan penolakan terhadap pengembangan pariwisata, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti praktek perjudian, prostitusi dan penyalahgunaan seks (sexual abuse).
Bali sebagai salah satu objek wisata utama di Indonesia merupakan barometer perkembangan pariwisata nasional. Oleh karena itu, Bali memegang peranan yang penting dalam perkembangan pariwisata di Indonesia.
Sebagai daerah tujuan utama bagi wisatawan, tentu Bali tidak terlepas dari dampak pengembangan pariwisata dari segala aspek kehidupan termasuk kebudayaan. Pengembangan pariwisata di Bali yang bertumpu pada kebudayaan Bali yang pada dasarnya bersumber pada agama Hindu, menimbulkan adanya kegairahan penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan aspek-aspek kebudayaan terutama kesenian, monumen-monumen peninggalan sejarah, dan adat istiadat. Tentu saja hal ini memberikan efek ganda yaitu bertambahnya pendapatan masyarakat lokal dari kegiatan ini sebagai konsumsi bagi wisatawan dan dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan itu sendiri. Misalnya, pertunjukan berbagai kesenian untuk wisatawan, adanya museum untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang juga sebagai daya tarik wisatawan, dan berbagai kegiatan adat istiadat yang bersifat unik.
Adanya dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan menunjukkan adanya keselarasan ungkapan yang mengatakan “Pariwisata untuk Kebudayaan”. Artinya, pengembangan pariwisata benar-benar memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kebudayaan dalam arti yang luas. Ini artinya, perkembangan pariwisata secara positif dapat memperkokoh kebudayaan Indonesia.
Di samping memberikan dampak yang positif, pengembangan pariwisata juga dapat menimbulkan masalah. Di samping pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, sering juga terjadi sebaliknya yaitu tereksploitasinya kebudayaan secara berlebihan demi kepentingan pariwisata. Tentu hal ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan kebudayaan. Ini sering terjadi akibat adanya komersialisasi kebudayaan dalam pariwisata. Artinya, memfungsikan pola-pola kebudayaan seperti kesenian, tempat-tempat sejarah, adat istiadat, dan monumen-monumen di luar fungsi utamanya demi kepentingan pariwisata. Inilah suatu masalah yang dihadapi sekaligus tantangan dalam pengembangan pariwisata budaya. Hal ini juga dialami oleh Bali sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia.
Perkembangan pariwisata memang dapat menumbuhkembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti kesenian dan adat istiadat di Bali. Akan tetapi, di balik itu ternyata juga muncul permasalahan akibat terlalu tereksploitasinya aspek-aspek tadi. Misalnya, munculnya berbagai kesenian yang awalnya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara agama, kemudian dipertunjukkan untuk kepentingan wisatawan. Demikian juga dijadikannya tempat suci sebagai objek wisata. Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi budaya dalam pariwisata, karena berubahnya atau bertambahnya fungsi di samping fungsi utamanya.
Di samping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang perlu juga menjadi pemikiran kita bersama, yaitu pola pembinaan kebudayaan dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata, digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi ke semua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang kebudayaan. Padahal secara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa. Oleh karena itu, ada kesan “budaya untuk pariwisata”. Dengan demikian, kebudayaan di sini tereksploitasi secara besar-besar dan hanya digunakan sebagai bahan promosi tanpa adanya usaha untuk menjaga dan melestarikannya. Kini banyak objek wisata yang tidak tertata akibat dana pemeliharaan yang terbatas. Salah satu contoh konkret adalah Museum Subak yang ada di Kabupaten Tabanan, Bali. Museum ini meruapakan aset budaya Bali yang tak ternilai harganya. Sayang, kini museum itu sepertinya hanya tinggal kenangan.
.
Tradisi Med-Medan
Med-medan berasal dari kata omed-omedan yang berarti tarik menarik. Tradisi ini berlangsung tepatnya di Banjar Kaja Sesetan wilayah Denpasar Selatan dan biasanya diselenggarakan satu hari setelah Nyepi yang disebut hari Ngembak Geni. Masyarakat awam sebelumnya hanya memandang med-medan hanya sebagai hiburan atau sebuah permainan , padahal banyak nilai ritual dan filosofis yang terkandung didalamnya. Nilai filosofis med-medan ada pada konsep pertemuan antara Purusha-Pradana (laki-laki dan perempuan) yang sangat jelas terlihat, yang menimbulkan adanya keseimbangan di alam semesta.
Tradisi ini berlangsung pada pkl. 15.30 wita tepat di depan Banjar Kaja Desa Adat Sesetan, dan sebelum acara dimulai terlebih dahulu dilakukan persembahyangan bersama. Peserta med-medam adalah pemuda dan pemudi dari empat tempekan dari Sekaa Teruna Satya Dharma Kerti, Banjar Kaja Sesetan yang berjumlah sekitar 200 orang. Sekaa Teruna dibagi menjadi dua kelompok putra dan putri, yang kemudian akan menunjuk salah satu anggotanya untuk berada di depan barisan, kemudian kedua kelompok akan saling bertemu dan merangkul, sedangkan anggota lainnya di belakang berusaha untuk menarik pasangan yang sedang berangkulan, sehingga antar kelompok akan saling tarik menarik (omed-omedan) disertai dengan guyuran air dan suara gamelan baleganjur semakin menambah semangat dan kegembiraan para peserta.
Med-medan dulunya hanyalah sebuah kebiasaan. Tetapi belakangan oleh krama Banjar Kaja Sesetan dijadikan acara yang sakral. Munculnya med-medan bermula dari sembuhnya seorang sesepuh Puri Oka Sesetan, AA Made Raka dari suatu penyakit.
Oleh karena menderita sakit, tokoh puri itu tidak menginginkan adanya keramaian (med-medan) di hari raya Nyepi. Tetapi krama banjar memberanikan diri membuatnya dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, AA Made Raka berusaha mendatanginya. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut. Dari situ muncul upaya tetap melaksanakan tradisi tersebut di Hari Raya Nyepi.
Belakangan–tepatnya pada zaman Belanda, med-medan sempat dilarang. Kendati demikian tidak menyurutkan krama untuk tetap melanjutkan tradisi unik tersebut. Kegiatan pun lantas dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi. Dulu, med-medan dilangsungkan pada Hari Raya Nyepi. Tetapi sejak tahun 1979 agar tidak mengganggu pelaksanaan catur brata penyepian, med-medan akhirnya dilaksanakan pada Ngembak Geni.
Dikatakan, med-medan juga sempat ditiadakan karena ada penyimpangan berupa adegan ciuman. Tetapi peristiwa aneh pun terjadi. Sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu sertamerta melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos agar med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah krama tidak berani lagi meniadakan med-medan sehingga lestari sampai sekarang.
Mengkampanyekan Ruang Pengakuan Multikulturalisme dalam Pariwisata SUMUT

Medan ingin memajukan pariwisata berbasis budaya. Konskwensinya medan mesti mengaplikasikan semangat kebudayaan pada setiap programnya. Mulai wisata mistis, bangunan warisan, sampai wisata literasi. Budaya menjadi obyek tontonan.
Budaya menjadi praktik tonton-menonton. Tapi, memang itulah yang sedang kita hadapi. Bahkan, sudah sejak dulu, Indonesia menjadi tontonan bangsa-bangsa lain. Wacana pariwisata Indonesia terkait dengan sejarah pemahaman bangsa-bangsa lain. Barat mengimajinasikan nusantara sebagai daerah tropis dan suasana “tempo Doeloe” yang masih “asli”. James S. Spilline, seorang peneliti ekonomi pariwisata mengatakan bahwa zaman itu ada kesulitan untuk menjelaskan Jawa bagi orang Eropa. Kesulitan dalam menjelaskan keaslian Jawa akhirnya membuat Jawa menjadi ‘sesuatu yang eksotis’. Dalam hal ini, Jawa itu eksotis merupakan ciptaan Barat. Tetapi kekaguman Barat itu memiliki alasan yang materialistis, tertuju pada bahan/tanaman industri dan pangan. Eksploitasi ekonomi itu kelak mengawali terjadinya turisme.
Kini banyak negara yang sumber ekonominya berasal dari bidang pariwisata. Kesukaan wisatawan dengan lokasi pariwisata disebabkan karena ada ciri khas yang melekat pada obyek. Imajinasi bahwa ada keaslian dan kekhasan yang melekat pada tempat, kebanyakan membuat wisatawan datang. Baik orang dan budayanya. Tetapi, keaslian tidak selalu sama dengan kekhasan. Keunikan suatu obyek bukan selalu kemurnian. Jadi, keaslian yang dicari wisatawan itu tidak ada. Sebaliknya keunikan ada dalam proses negoisasi di masyarakat.
Keaslian merupakan bentuk imajinasi wisatawan. Sementara itu, keunikan antar tempat wisata selalu berbeda. Setiap keunikan memiliki formasinya sendiri, baik dari sejarah dan perkembangannya. Keunikan medan berbeda jauh dengan Bali. Menjadinya medan sekarang melalui proses percampuran dengan format-format baik etnis, religi, maupun kebiasaan yang tidak selalu sama dengan Bali.
Misalnya di Malioboro. Malioboro tidak sekadar menjadi situs ekonomi bagi warga Jogja. Di Malioboro sesungguhnya berlangsung proses percampuran warga dari luar Jogja. Ini merupakan proses negoisasi. Percampuran itu kadangkala mencerminkan bahwa ada “perebutan akses“ ekonomi politik. Dalam hal ini, Jogja kadangkala perlu dilihat dari struktural dan kultural. Yang kultural menyimpan susunan struktural yang hirarkhis. Bila pariwisata dilihat dari perspektif budaya, pastinya akan menyentuh sejauh mana proses negoisasi tersebut terjadi.
Faktor penting yang perlu diperhatikan kerja komunikasi visual ialah mengenai Imajinasi wisatawan tentang keaslian lokasi. Imajinasi ini kerap mendorong ciri khas suatu tempat dan budaya dieksplorasi menjadi bentuk-bentuk obyek wisata. Dalam banyak benturan antara budaya dan pariwisata. Bila ada inovasi dan kreasi kekhasan/keunikan suatu lokasi wisata, sifatnya akan berubah-ubah. Sebab, tergantung oleh perubahan medan kekuasaan dalam perebutan akses-ekonomi.
Pariwisata sebagai situs ekonomi pada pada praktiknya membuka ruang-ruang “perjumpaan” antara dua budaya atau lebih. contohnya Jogja dikonsepkan menjadi “rumah seribu kota“, ini adalah hasrat untuk mengungkapkan bahwa jogja menjadi sebuah “home“ bagi penghuninya. Home bukanlah house. Tentu slogan ini secara tanpa sadar berusaha memanggil aspek perasaan ketika di jogja, tinggal di jogja: ketika mengimajinasikan jogja.
Rumah seribu kota ialah bentuk imajinasi. Imajinasi tentang para penghuninya yang berasal dari ragam kota. Mereka masih membawa kedirian dari tempat asal untuk dinegoisasikan di tempat baru. Lalu, apakah Jogja bisa menjadi rumah bagi semua, bagaimana ini dibuktikan. Bila benar berada di Jogja berarti “feel at home“, apakah itu tidak melalui “konflik“. Sebab, Jogja juga sebuah kota yang selalu menjadi medan perebutan akses ekonomi politik.
Feel at home di jogja tidak akan pernah sama dengan feel at home di kota asal. Apakah semua warga jogja terbuka menerima kedatangan perbedaan. Apakah pendatang siap berkomunikasi dengan lokasi tujuan. Sederhananya, dalam program komunikasi visual, imajinasi seperti apakah yang hendak dikomunikasikan. Apakah masih terkungkung dalam imajinasi budaya jogja yang struktural hirarkhis yang menikmati mapannya sistem oriental. Ataukah mulai berdiri di budaya keseharian yang bergerak ke multikultural.
Bila dalam tradisi eksotik, tentu sistem oriental sudah dimapankan selama ini. Kini, program komunikasi visual yang menantang untuk dikerjakan ialah dengan perspektif budaya keseharian. Yakni melakukan kampanye kesadaran multikultural. Budaya adi luhung sudah menempati ranahnya sendiri.
Memandang medan dari sisi kebudayaan semestinya memerhatikan wacana perbedaan kelas sosial. Perbedaan kelas mencerminkan ketimpangan ekonomi. Dan ini bukanlah kekayaan wisata yang harus tetap dipelihara. Apalagi dianggap wujud kearifan lokal.
Itulah mengapa, struktur industri pariwisata jangan lagi mementingkan pengadaan modal infrastruktur. Apalagi membatasi partisipasi kelompok miskin untuk memanfaatkan pariwisata. Bila menerapkan prinsip ekonomi pasar bebas, tentu yang berkembang ialah resort wisata ekslusif. Logika kebijakan ini lebih memberi kesempatan bagi orang kaya dengan modal besar, sekaligus meminggirkan masyarakat lokal dari pengelolaan pariwisata. Pengembangan pariwisata dengan target ekonomi besar sesungguhnya bentuk pemiskinan masyarakat lokal.
Pariwisata semestinya menjadi sarana distribusi dan redistribusi sumber daya yang lebih adil bagi masyarakat miskin. Caranya dengan; memperluas kesempatan usaha sekaligus kerja bagi penduduk miskin. Mengantisipasi pemanfaatan sumber daya lokal terhadap masyarakat lokal. Penyerapan keseimbangan kesempatan kerja bagi laki-laki dan perempuan untuk menghindari dampak sosial budaya. Optimalisasi lembaga lokal dalam pengelolaan sumber daya pariwisata. Mendukung masyarakat miskin dalam bentuk kebijakan yang isinya antara lain; masyarakat miskin menjadi sumber SDM utama, menjadi pemasok barang dan jasa pariwisata, mendorongnya dalam wiraswasta langsung ke wisatawan, menjadi pemilik dan pelaku usaha jasa pariwisata, memungkinkan infrastruktur yang menguntungkan masyarakat miskin, memberi mereka pelatihan, mengoptimalkan lembaga untuk masyarakat lokal.
Bagaimanapun, studi pariwisata kontemporer mesti memerhatikan pelbagai pertumbuhan pengakuan di masyarakatnya. Sebab, kita semakin sadar mengenai komunitas atau kelompok yang berusaha mengklaim identitas. Banyak kelompok yang memerlukan identitasnya untuk diakui. Nah, apakah memasukkan pariwisata dalam wacana budaya sehari-hari bisa menjadi ruang pengakuan bagi setiap kelompok.
Bila dalam masyarakat dengan sejarah kolonial, rasisme menjadi aturan kolonial, sebagai alasan ideologis untuk mengontrol populasi indigenous. Maka, konsep pariwisata perlu mengadvokasi konsep etnisitas yang selalu membentuk dirinya dalam suatu perbedaan. Misalnya, orang bisa mengklaim berbeda dalam basis kultural seperti; agama, bahasa, dan bangsa. Identifikasi diri kadang mengikuti karakterisitik nama kolektif, tindakan mitos, sejarah, perbedaan budaya, di asosiasikan dengan teritori dan perasaan bersama.
Komunitas etnis pun tidak bisa hadir melalui dirinya sendiri. Artinya makna berbeda (secara etnis) itu bila hadir ketika berjumpa dengan yang lain. Hubungan etnis sering juga hubungan kekuasaan dan dipandang dalam relasi mayoritas-minoritas, dominan dan kelompok subordinat. Kelompok mayoritas punya ruang untuk melakukan subordinasi pada minoritas. Identitas etnis dan kategorinya bisa eksis tanpa kelompok etnis. Tapi, kelompok etnis, bila mereka ada, harus dibangun di atas kategori dan identitas.
1) Faktor-faktor Pendorong dan Penarik berwisata selain dari segi cultural
Faktor-faktor  pendorong dan penarik untuk berwisata sangatlah penting untuk diketahui oleh siapapun yang berkecimpung dalam industri pariwisata (Pitana, 2005)
Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin melakukan perjalanan wisata, tetapi belum jelas mana daerah yang akan dituju. Berbagai faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Ryan, (1991) dan Pitana (2005), menjelaskan sebagai berikut:
1)      Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
2)      Relaxtion. Keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan motivasi untuk escape di atas.
3)      Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius.
4)      Strengthening family bond. Ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini dilakukan bersama-sama (Group tour)
5)      Prestige. Ingin menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau Social Standing.
6)      Social interaction. Untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
7)      Romance. Keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual.
8)      Educational opportunity. Keinginan untuk melihat suatu yang baru, memperlajari orang lain dan/atau daerah lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini merupakan pendorong dominan dalam pariwisata.
9)      Self-fulfilment. Keinginan untuk menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
10)  Wish-fulfilment. Keinginan untuk merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-citakan, sampai mengorbankan diri dalam bentuk penghematan, agar bisa melakukan perjalanan. Hal ini juga sangat jelas dalam perjalanan wisata religius, sebagai bagian dari keinginan atau dorongan yang kuat dari dalam diri.
Demikian kajian ini, semoga dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan pariwisata medan, kota yang sustainable.
KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1)Pariwisata, kebudayaan, dan bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat. Ini disebabkan pariwisata di Indonesia dikembangkan berdasarkan kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional yang didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah bisa dinikmati oleh wisatawan memerlukan sarana pengungkap yaitu bahasa. Artinya, orang ingin mengetahui kebudayaan nasional Indonesia harus melalui bahasanya yaitu Bahasa Indonesia. Demikian juga orang yang belajar Bahasa Indonesia secara tidak langsung juga mempelajari kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, dengan demikian bahasa (Indonesia) merupakan sarana pengungkap kebudayaan nasional Indonesia yang digunakan sebagai dasar pengembangan pariwisata di Indonesia.(2) hubungan yang demikian erat antara pariwisata, kebudayaan, dan bahasa tidak saja memberikan dampak positif, tetapi juga menimbulkan masalah sebagai dampak negatifnya.(3) Dampak positif perkembangan pariwisata terhadap kebudayaan di antaranya akan terjadi akulturasi kebudayaan, karena adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan, kebudayaan-kebudayaan daerah akan terus berkembang karena adanya wisatawan (orang asing) yang datang berkunjung untuk melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut, dan adanya usaha-usaha penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan dilestarikan. Di samping dampak positif, perkembangan pariwisata dapat menimbulkan masalah kebudayaan, yaitu terjadinya ekspolitasi kebudayaan yang berlebihan sehingga terjadilah komersialisasi.(4) Perkembangan pariwisata di Indonesia juga memberikan dampak positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia terutama dalam hal khazanah kosa kata. Misalnya: agrowisata, apartemen, awak kabin, bandara, bar, bartender, brosur, Usaha Perjalanan Wisata, kargo, souvenir, reservasi, Diparda, destinasi, objek wisata, daerah tujuan wisata, ekowisata, embarkasi, hotel, restoran, jasa boga, kepariwisataan, paspor, devisa, visa, pelancong, pramusaji, pramuwisata, prasmanan, bufe, sadar wisata, sapta pesona, tata graha, tour, wisatawan, paket wisata, wisatawan domestic (wisdom), dan wisatawan mancanegara (wisman). Sedangkan masalah yang muncul adalah belum maksimalnya fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkap komponen dan produk-produk industri pariwisata.
SARAN

Tujuan pembangunan pariwisata nasional adalah mewujudkan pariwisata berkesinambungan. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata di Indonesia yang berlandaskan kebudayaan harus benar-benar dicermati. Artinya, kebudayaan Indonesia jangan sampai menjadi korban akibat pengembangan pariwisata, justru sebaliknya pariwisata harus memberikan kontribusi yang positif terhadap kebudayaan dalam arti luas, termasuk Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai sarana pengungkap kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini agar pariwisata Indonesia benar-benar bercermin pada kebudayaan Indonesia perlu dipikirkan kemungkinan menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa asing (Inggris) secara bersama-sama. Di sinilah diperlukan kebijakan yang tegas untuk mengatur hal itu dan juga dibutuhkan suatu tanggung jawab moral oleh para pelaku pariwisata untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar